Pada tahun 1991 para pemimpin negara anggota ASEAN sepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN. Barulah kemudian pada tahun 1996 RRC secara resmi menjadi salah satu dialog partner sekaligus mitra strategis bagi ASEAN, kemudian pada bulan Nopember tahun 2000 bertepatan dengan KTT ASEAN-RRC, seluruh Kepala Negara menyepakati gagasan pembentukan ACFTA yang dilanjutkan dengan pembentu-kan ASEAN – RRC Economic Expert Group pada bulan Maret 2001.
Kerjasama dengan RRC tidak dipungkiri merupakan potensi pengembangan pasar yang sangat besar bagi kurang lebih 1.3 milyar penduduk RRC yang merupakan potensi market di Negara dengan populasi terpadat di dunia. Potensi sebagai FTA terbesar didunia secara populasi dan terbesar ketiga didunia secara ekonomi tersebut membuat kepala Negara sepakat menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and the RRC pada bulan Nopember tahun 2002, dalam hal ini Republik Indonesia diwakili oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Selama 2 (dua) tahun perundingan berjalan akhirnya kesepakatan ACFTA pun disepakati dan ditandai dengan penandatangan Agreement on Trade in Goods pada bulan Nopember tahun 2004, Indonesia pada saat itu diwakili oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.
Pembukaan pasar merupakan perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan Cina, yang disebut dengan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Produk-produk impor dari ASEAN dan China akan lebih mudah masuk ke Indonesia dan lebih murah karena adanya pengurangan tarif dan penghapusan tarif, serta tarif akan menjadi nol persen dalam jangka waktu tiga tahun (Dewitari,dkk 2009). Sebaliknya, Indonesia juga memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki pasar dalam negri negara-negara ASEAN dan Cina. Beberapa kalangan menerima pemberlakuan ACFTA sebagai kesempatan, tetapi di sisi lain ada juga yang menolaknya karena dipandang sebagai ancaman.
Dalam ACFTA, kesempatan atau ancaman (Jiwayana, 2010) ditunjukkan bahwa bagi kalangan penerima, ACFTA dipandang positif karena bisa memberikan banyak keuntungan bagi Indonesia. Pertama, Indonesia akan memiliki pemasukan tambahan dari PPN produk-produk baru yang masuk ke Indonesia. Tambahan pemasukan itu seiring dengan makin banyaknya obyek pajak dalam bentuk jenis dan jumlah produk yang masuk ke Indonesia. Beragamnya produk China yang masuk ke Indonesia dinilai berpotensi besar mendatangkan pendapatan pajak bagi pemerintah. Kedua, persaingan usaha yang muncul akibat ACFTA diharapkan memicu persaingan harga yang kompetitif sehingga pada akhirnya akan menguntungkan konsumen (penduduk / pedagang Indonesia).
Terbukanya pasar , dimana hampir 80% lebih tarif yang menggunakan skema ACFTA telah mencapai zero percent hal ini membuka peluang baik dari segi penetrasi pasar produk Indonesia ke RRT, maupun terbuka lebarnya sumber bahan baku (material) yang dibutuhkan sektor industri dalam negeri sehingga dapat bersaing secara kompetitif, mengingat Indonesia bukanlah negara tujuan ekspor ataupun importir utama bagi RRC. Dari segi investasi ataupun penanaman modal hal ini membawa pengaruh yang cukup baik, mengingat kebijakan pemerintah RRC yang berencana merestrukturisasi perekonomian mereka dengan melakukan ekspansi dan investasi di luar negeri. Hal ini membawa Indonesia sebagai potensial market yang dapat menarik investor RRC untuk membuka perusahaan sebagai basis produksi dan menanamkan modal mereka di Indonesia.
Tantangan terberat Indonesia sebenarnya lebih kepada faktor di dalam negeri diantaranya, pembenahan sektor pendukung industri dan pertanian seperti kesiapan energi, kualitas tenaga kerja, sistem perbankan baik dari segi suku bunga pinjaman, pembiayaan dan lain-lain, agar dapat mendorong pertumbuhan industri.
Berikutnya perlu memperbaiki sistem logistik nasional yang memungkinkan pergerakan barang, modal dan tenaga kerja agar semakin efisien di berbagai sektor. Kemudian peningkatan pengawasan dibatas perdagang-an Indonesia sehingga dapat menghalau serbuan produk illegal.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalaha peningkatan pengamanan pasar diantaranya dengan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang didukung kesiapan baik secara infrastruktur laboratorium maupun sumber daya manusia yang kompeten. Serta bantuan ataupun program pembinaan dan peningkatan mutu produk, yang dapat mengungguli kualitas produk luar negeri.
Bila kalangan penerima memandang ACFTA sebagai kesempatan, kalangan yang menolak memandang ACFTA sebagai ancaman dengan berbagai alasan. ACFTA, di antaranya, berpotensi membangkrutkan banyak perusahaan dalam negeri. Bangkrutnya perusahaan dalam negeri merupakan imbas dari membanjirnya produk China yang ditakutkan dan memang sudah terbukti memiliki harga lebih murah. Secara perlahan ketika kelangsungan industri mengalami kebangkrutan maka pekerja lokal pun akan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). Bila kalangan penerima memandang ACFTA sebagai kesempatan, kalangan yang menolak memandang ACFTA sebagai ancaman dengan berbagai alasan. ACFTA, di antaranya, berpotensi membangkrutkan banyak perusahaan dalam negeri. Bangkrutnya perusahaan dalam negeri merupakan imbas dari membanjirnya produk China yang ditakutkan dan memang sudah terbukti memiliki harga lebih murah. Secara perlahan ketika kelangsungan industri mengalami kebangkrutan maka pekerja lokal pun akan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pemerintah menindaklanjuti permasalahan yang ada dengan melakukan analisis terhadap sektor industri yang terancam dengan pemberlakuan ACFTA melalui metode analisis Revealed Comparative Advantage dan indikator makroekonomi lainnya maka muncul 228 Tarif Line dari 12 sektor yaitu sektor Industri besi dan baja, tekstil dan produk tekstil, mesin, elektronik, Kimia anorganik, petrokimia, furniture, kosmetik, jamu, alas kaki, produk industri kecil, dan sektor industri maritim. Sektor-sektor tersebut dirasakan akan mengalami dampak pelemahan apabila ACFTA tetap diimplementasikan secara penuh tanpa penundaan.
Oleh karena itu, berbagai langkah telah ditempuh Pemerintah sebagai upaya menyikapi pemberlakuan penuh ASEAN-China FTA. Diantaranya mengirimkan surat kepada Sekretaris Jenderal ASEAN pada tanggal 31 Desember 2009 yang menyatakan bahwa Indonesia tetap pada komitmennya, namun terdapat beberapa sektor yang bermasalah, untuk itu ingin melakukan pembahasan. Kemudian mengingat permasalahan yang dihadapi bersifat lintas sektor, maka dibawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian telah dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Hambatan Perdagangan dan Industri pada tanggal yang sama untuk melakukan pembahasan bersama berbagai usaha di tanah Air.
Pembahasan sektoral ini bertujuan untuk memetakan kondisi masing-masing sektor secara akurat, mengidentifikasi permasalahan secara jelas, dan menyusun rekomendasi kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapi sektor yang bersangkutan. Tim teknis yang dibentuk fokus kepada penguatan daya saing global, pengamanan pasar domestik, serta penguatan ekspor.
1. Penguatan daya saing global
Upaya dalam penguatan daya saing global dilakukan dari sisi
(1) isu domestik yang meliputi :
- Penataan lahan dan kawasan industri;
- Pembenahan infrastruktur dan energi;
- Pemberian insentif (pajak maupun non pajak lainnya);
- Membangun kawasan ekonomi khusus (KEK);
- Perluasan akses pembiayaan dan pengurangan biaya bunga (KUR, Kredit Ketahanan Pangan dan Energi, modal ventura, keuangan syariah, anjak piutang, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dsb);
- Pembenahan sistem logistik;
- Perbaikan pelayanan publik (NSW, PTSP/SPIPISE dsb) Penyederhanaan peraturan;
- Peningkatan kapasitas ketenaga- kerjaan.
(2) pengawasan di border yang meliputi:
- Peningkatan pengawasan ke-tentuan impor dan ekspor dalam pelaksanaan FTA;
- Menerapkan Early Warning System untuk pemantauan dini terhadap kemungkinan terjadi-nya lonjakan impor;
- Pengetatan pengawasan peng-gunaan Surat Keterangan Asal barang (SKA) dari Negara Negara mitra FTA;
- Pengawasan awal terhadap kepatuhan SNI, Label, Ingridien, kadaluarsa, kesehatan, lingkung-an, security dsb;
- Penerapan instrumen perda-gangan yang diperbolehkan WTO (safeguard measures) terhadap industry yang mengalami ke-rugian yang serius (seriously injury) akibat tekanan impor (import surges);
- Penerapan instrumen anti dumping dan countervailing duties atas importasi yang unfair.
2. Pengamanan pasar domestik
- Peredaran barang di pasar Lokal
- Task Force pengawasan peredaran barang yang tidak sesuai dengan ketentuan perlindungan konsumen dan industri
- Kewajiban penggunaan label dan manual berbahasa Indonesia
- Promosi penggunaan produksi dalam negeri
- Mengawasi efektifitas promosi penggunaan produksi dalam negeri (Inpres No 2 tahun 2009)
- Mengalakkan program 100% Cinta Indonesia dan Industri Kreatif.
3. Penguatan ekspor
- Mengoptimalkan peluang pasar RRC dan ASEAN
- Penguatan peran perwakilan luar negeri (ATDAG/TPC)
- Promosi Pariwisata, perdagangan dan Investasi (TTI)
- Penanggulangan masalah dan kasus ekspor,
- Pengawasan SKA Indonesia
- Peningkatan peran LPEI dalam mendukung pembiayaan ekspor
Usaha-usaha yang dilakukan tersebut menunjukan bukti keseriusan pemerintah dalam menghadapi persaingan pasar bebas tidak hanya dengan RRT namun dengan negara mitra dagang lainnya yang mempunyai perjanjian FTA dengan pemerintah RI.
0 komentar:
Posting Komentar